Monday, December 31, 2007

Belajar Kehidupan dari Sebuah Pohon Tua

Hidup ini adalah sebuah proses. Hadapilah dengan TEGAR!

Alkisah ada seorang anak yang baru lulus dari sekolah hendak pergi ke kota. Tujuan utamanya untuk mencari pekerjaan. Dan tentu saja merubah nasib. Dia hanya seorang anak petani biasa. Setiap hari dia selalu terbiasa dengan hidup yang sangat sederhana. Orang tuanya sudah terlalu tua untuk diandalkan. Akhirnya menjelang kepergiannya ke kota. Dia pun bertemu dengan bapaknya untuk meminta nasehat. ”Bapak, besok subuh anakmu ini mau berangkat mencari kerja ke kota. Kiranya bapak mengizinkan aku untuk pergi”. Bapak itu pun berkata,” Anakku, bapak tidak bisa membekalimu apa-apa? Tapi sebelum engkau pergi. Bapak mau menunjukkan sesuatu kepada kamu.” Si anak pun melihat bapaknya dengan penuh tanda tanya. ”Apakah itu, Bapak?”. Si Bapak tidak menjawab. Dia tersenyum dan berkata,”Mari ikut aku?”. Lalu dia pun berjalan. Diikuti oleh anaknya dari belakang dengan penuh tanda tanya.

Ternyata mereka pergi ke belakang halaman rumah. Disitu ada sebuah pohon tua yang sangat besar. Umurnya mungkin sudah ratusan tahun. Mereka pun sampai. Dan berdiri persis di depan pohon tua tersebut. Si bapakpun berkata,” Anakku coba kau perhatikan pohon tua ini?”. Si anak pun mulai memperhatikan pohon tua itu. Yang bisa dilihatnya hanya sebuah pohon tua tidak mempunyai arti. Batangnya pun sangat sulit dipeluk dengan mengandalkan seorang diri. Butuh tiga sampai lima orang. Pohon ini pun tidak tahu termasuk jenis tanaman apa? Yang dia tahu pohon ini sudah ada sejak dia masih kecil. Bisa jadi sebelum dia lahir. ” Bapak, aku tidak melihat yang istimewa dari pohon ini”. Jawab si anak. Si bapak pun secara perlahan-lahan mulai mendekati pohon itu lebih dekat lagi. Dan tangannya pun menyentuh akar pohon tersebut. Lalu dia pun berkata,” Pohon itu begitu kokoh berdiri sampai dengan sekarang. Padahal kita tidak pernah merawatnya. Diapun tumbuh secara alamiah. Ketika hujan dia pun menjadi basah. Kemaraupun pun dia menjadi kekeringan. Tapi lewat proses kehujanan dan kekeringan membuat dia menjadi kokoh dan kuat.”

Si bapak memandang wajah anaknya dengan penuh arti. Sambil melanjutkan perkataannya,” Setiap kali kamu menghadapi persoalan ketika kamu di kota. Ingatlah pohon ini? Dia bisa melewati semuanya dengan baik. Walaupun kamu mengalami persoalan besar sekalipun. Itu semua menjadikan kamu lebih kuat dan tegar. Tidak terhempas oleh angin yang besar. Andalkan Sang Pencipta untuk membantu hidupmu. Bila engkau hanya mengandalkan dirimu sendiri dan orang lain itu hanya bersifat sementara. Kamu lebih banyak kecewa. Tapi bila engkau mengandalkan Sang Pencipta kamu tidak pernah kecewa.” Si bapak pun mengakhiri percakapan dengan si anaknya. Si anakpun mulai mengerti. Bahwa di kota nanti dia harus siap menghadapi setiap kesulitan. Dan hanya mengandalkan Sang Pencipta dia pasti berhasil meraih impiannya.

Pembaca yang budiman

Dalam kehidupan kita zaman sekarang ini. Kita selalu teransang untuk mencapai kesuksesan secara cepat. Istilah kerennya secara instan. Tanpa mau bersusah payah. Padahal kita semua tahu bahwa ada satu hukum alam yang tidak mungkin kita hindari yaitu hukum proses. Coba ingat ketika kita masih bayi. Kita pun mulai dari belajar merangkak. Lewat proses jatuh bangun beberapa kali. Mungkin bisa juga ratusan kali. Kita baru bisa belajar berdiri. Setelah kedua kaki kita kokoh dan kuat. Barulah kita mulai melangkah. Mulai dari satu, dua, tiga sampai proses melangkah lancar. Barulah kita mulai bisa berjalan. Setelah kita lancar berjalan, maka kita berlari, memanjat, melompat dan semua aktivitas lainnya yang bisa kita lakukan. Apakah semuanya secara instan? Jawabnya pasti. TIDAK!. Semuanya lewat sebuah PROSES perjuangan.

Pertanyaan saya, bagaimana supaya kita bisa melewati proses kehidupan ini secara kuat dan kokoh? Tentu saja kita harus siap menghadapi setiap kesulitan yang datang. Bukan menghindarinya. Lihat saja batu karang yang keras. Bisa tembus lewat proses tetesan air secara terus menerus. Dengan diuji membuat mental kita menjadi kuat. Disinilah timbul kekuatan mental kita seperti keberanian, keuletan, kesetiaan, dll. Dan satu lagi yang membuat kita kuat adalah kita harus mempunyai MENTOR. Orang yang siap memberikan masukan bagi setiap kemajuan kita. Mentor yang paling setia adalah orang tua kita. Merekalah pendorong buat kita lebih maju. Kita pun bisa memilih mentor, orang yang sudah mempunyai prestasi dan reputasi dibidang yang kita geluti. Tidak hanya memberikan kritikan. Tapi dia juga mampu membimbing kita menjadi sukses. Dan tak lupa sang mentor sejati adalah Sang Pencipta sendiri. Kita harus selalu mendengarkan nasehatnya. Melalui doa secara rutin. Tak lupa kita bersyukur atas permberiannya setiap hari.

(Daniel Kurniawan)

NEVER EVER GIVE UP  !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!11

 

Sunday, December 23, 2007

Berhentilah Jadi Gelas

Seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya ketika wajahnyabelakangan ini selalu tampak murung."Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah didunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu?" sang Guru bertanya.
"Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuktersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya," jawab sangmurid muda.
Sang Guru terkekeh. "Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam.Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu."
Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaangurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.
"Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu," kataSang Guru. "Setelah itu coba kau minum airnya sedikit." Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum airasin."Bagaimana rasanya?" tanya Sang Guru."Asin, dan perutku jadi mual," jawab si murid dengan wajah yang masihmeringis. Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan."Sekarang kau ikut aku." Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekattempat mereka. "Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau."Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludahdi hadapan gurunya, begitu pikirnya."Sekarang, coba kau minum air danau itu," kata Sang Guru sambilmencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggirdanau. Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, danmembawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingindan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanyakepadanya, "Bagaimana rasanya?""Segar, segar sekali," kata si murid sambil mengelap bibirnya denganpunggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumberair di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah.Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yangtersisa di mulutnya."Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?""Tidak sama sekali," kata si murid sambil mengambil air danmeminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya,membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas."Nak," kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. "Segala masalahdalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih.Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang haruskau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Allah, sesuaiuntuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurangdan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pundemikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yangbebas dari penderitaan dan masalah."Si murid terdiam, mendengarkan."Tapi Nak, rasa `asin' dari penderitaan yang dialami itu sangattergantung dari besarnya 'qalbu'(hati) yang menampungnya. Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itujadi sebesar danau." (From : Suluk - Blogsome)

Sunday, December 16, 2007

Belajar Dari Burung & Cacing

Bila kita sedang mengalami kesulitan hidup karena
himpitan kebutuhan materi, maka cobalah kita ingat
pada burung dan cacing.

Kita lihat burung tiap pagi keluar dari sarangnya
untuk mencari makan. Tidak terbayang sebelumnya kemana
dan dimana ia harus mencari makanan yang diperlukan.
Karena itu kadangkala sore hari ia pulang dengan perut
kenyang dan bisa membawa makanan buat keluarganya,
tapi kadang makanan itu cuma cukup buat keluarganya,
sementara ia harus "puasa". Bahkan seringkali ia
pulang tanpa membawa apa-apa buat keluarganya sehingga
ia dan keluarganya harus "berpuasa". Meskipun burung
lebih sering mengalami kekurangan makanan karena tidak
punya "kantor" yang tetap, apalagi setelah lahannya
banyak yang diserobot manusia, namun yang jelas kita
tidak pernah melihat ada burung yang berusaha untuk
bunuh diri.


Kita tidak pernah melihat ada burung yang tiba-tiba
menukik membenturkan kepalanya ke batu cadas. Kita
tidak pernah melihat ada burung yang tiba-tiba
menenggelamkan diri ke sungai. Kita tidak pernah
melihat ada burung yang memilih meminum racun untuk
mengakhiri penderitaannya. Kita lihat burung tetap
optimis akan rizki yang dijanjikan Allah.


Kita lihat, walaupun kelaparan, tiap pagi ia tetap
berkicau dengan merdunya. Tampaknya burung menyadari
benar bahwa demikianlah hidup, suatu waktu berada
diatas dan dilain waktu terhempas ke bawah. Suatu
waktu kelebihan dan di lain waktu kekurangan. Suatu
waktu kekenyangan dan dilain waktu kelaparan.

Sekarang marilah kita lihat hewan yang lebih lemah
dari burung, yaitu cacing.

Kalau kita perhatikan, binatang ini seolah-olah tidak
mempunyai sarana yang layak untuk survive atau
bertahan hidup. Ia tidak mempunyai kaki, tangan,
tanduk atau bahkan mungkin ia juga tidak mempunyai
mata dan telinga. Tetapi ia adalah makhluk hidup juga
dan, sama dengan makhluk hidup lainnya, ia mempunyai
perut yang apabila tidak diisi maka ia akan mati. Tapi
kita lihat, dengan segala keterbatasannya, cacing
tidak pernah putus asa dan frustasi untuk mencari
rizki. Tidak pernah kita menyaksikan cacing yang
membentur-benturkan kepalanya ke batu.

Sekarang kita lihat manusia. Kalau kita bandingkan
dengan burung atau cacing, maka sarana yang dimiliki
manusia untuk mencari nafkah jauh lebih canggih.

Tetapi kenapa manusia yang dibekali banyak kelebihan
ini seringkali kalah dari burung atau cacing?
Mengapa manusia banyak yang putus asa lalu bunuh diri
menghadapi kesulitan yang dihadapi?
Padahal rasa-rasanya belum pernah kita lihat cacing
yang berusaha bunuh diri karena putus asa.

Rupa-rupanya kita perlu banyak belajar dari burung dan cacing.

Sunday, December 9, 2007

Berfokus Pada Kelebihan Diri

Penulis: Tak Diketahui

“Anak-anak, coba tuliskan tiga kelebihanmu, ” kata seorang guru yang hari itu menjadi pembimbing retreat bagi anak-anak sekolah dasar.

Menit demi menit berlalu namun anak-anak itu seakan masih bingung.

Dengan setengah berakting, sang guru kemudian bersuara keras : “Ayo, tuliskan! Kalau ngga, kertasmu saya sobek lo.” Anak-anak manis itu seketika menjadi salah tingkah.

Beberapa di antara mereka, memang tampak mulai menulis. Salah satu di antara mereka menulis di atas kertas, “Kadang-kadang nurutin kata ibu. Kadang-kadang bantu ibu. Kadang-kadang nyuapin adik makan.”

Penuh rasa penasaran, sang guru bertanya kepadanya : “Kenapa tulisnya kadang-kadang? “. Dengan wajah penuh keluguan, sang bocah hanya berkata : “Emang cuma kadang-kadang, pak guru”

Ketika semua anak telah menuliskan kelebihan dirinya, sang guru kemudian melanjutkan instruksi berikutnya : “Sekarang anak-anak, coba tuliskan tiga kelemahanmu atau hal-hal yang buruk dalam dirimu.”

Seketika ruangan kelas menjadi gaduh. Anak-anak tampak bersemangat. Salah satu dari mereka angkat tangan dan bertanya : “Tiga saja, pak guru?”. “Ya, tiga saja!” jawab pak guru. Anak tadi langsung menyambung : “Pak guru, jangankan tiga, sepuluh juga bisa!”.

Apa pelajaran yang bisa kita petik dari cerita sederhana itu? Saya menangkap setidaknya ada beberapa hal penting yang bisa kita pelajari. Salah satunya, kita sering tidak menyadari apa kelebihan diri kita karena lingkungan dan orang di sekitar kita jauh lebih sering mengkomunikasikan kepada kita kejelekan dan kekurangan kita.

Baru-baru ini, saya dan istri saya menyaksikan di sebuah televisi swasta pertunjukkan seni dari para penyandang cacat. Kami benar-benar terharu. Ada orang buta yang begitu piawai bermain piano atau kecapi. Pria tanpa lengan dan wanita muda yang tuli dapat menari dengan begitu indahnya. “Luar biasa, dia bisa menari dengan penuh penghayatan. Yang membuat saya heran, dia kan tuli tapi kok bisa mengikuti irama lagu dengan sangat tepat?”, kata istri saya terkagum-kagum.

Seorang pria buta yang bernyanyi dengan nada merdu sempat berkata, “Saudaraku, saya memiliki dua mata seperti Anda. Namun yang ada di depan saya hanyalah kegelapan. Ibu saya mengatakan saya bisa bernyanyi, dan ia memberi saya semangat untuk bernyanyi.”

Benarlah apa yang dikatakan Alexander Graham Bell : “Setelah satu pintu tertutup, pintu lainnya terbuka; tetapi kerap kali kita terlalu lama memandangi dan menyesali pintu yang telah tertutup sehingga kita tidak melihat pintu yang telah dibuka untuk kita.”

Fokuskan perhatian pada kelebihan kita dan bukan kelemahan kita.

Jadilah Orang Yang Keras Kepala!

Penulis: Ipho Santoso
Dua begawan Donald Trump dan Robert Kiyosaki sempat wanti-wanti, baik dalam kehidupan sehari-hari, bisnis, investasi, karya maupun bidang lainnya, kita mesti berpikir untuk menang, bukan sekedar tidak kalah. Terkait itu, saya sreg sekali dengan General Electric (GE) -perusahaan terbesar nomor dua di dunia. Berawal pada tahun 1876, mengandalkan kekuatan teknologinya, GE kemudian merambah peralatan rumah tangga, lampu listrik, finansial, mesin jet pesawat, pembangkit nuklir, dan lain-lain.

Lantaran seradak-seruduk di segala lahan, mulai dekade 1970-an GE menjelma menjadi raksasa gemuk yang tidak lincah dan boros. Untunglah, pada tahun 1981 GE dinahkodai figur luar biasa bernama Jack Welch. Dengan teriakan, "Fix, close, sell!" ia pun melego 200 anak perusahaannya dan mengakuisisi 1.700 perusahaan lainnya. Kriteria melego atau mengakuisisinya sederhana saja, menjadi nomor satu atau nomor dua di bidangnya. Apabila tidak, GE akan melupakan bidang tersebut. Istilah lainnya, memastikan menang, bukan sekedar tidak kalah.

Saat Jack masuk, nilai GE adalah US$ 14 miliar. Sewaktu ia keluar 20 tahun kemudian, nilainya meloncat setinggi US$ 130 miliar. Kalau boleh sombong, tidak ada seorang pun pemimpin bisnis di muka bumi ini yang sanggup melipatgandakan nilai seperti itu, selain dirinya. Akhir-akhir ini, GE dinilai sebesar setengah trilliun dolar dan tahun 2006 merek GE dihargai sebesar US$ 48.907 juta. Jadilah GE salah satu merek paling mahal di jagat ini. Dan ini semua berakar dari filosofi menang, bukan sekedar tidak kalah.

Di tanah air, sedikit-banyak Ciputra Group, Kem Chicks, dan Astra Internasional juga mengamalkan falsafah itu. Di segala medan, mereka bertarung untuk menang, bukan sekedar tidak kalah. Dan percaya atau tidak, pijakan utama untuk meraihnya adalah dengan menjadi orang yang keras kepala. Tentunya, dalam artian gigih, bukan ndableg asal-asalan. Tolong di-highlight itu. Sayangnya, selama ini Indonesia lebih dikenal sebagai bangsa yang ramah, bukan bangsa yang gigih. Kalau Jepang dan Korea, barulah disebut-sebut sebagai bangsa yang gigih.

Catatlah, baik Ciputra, Bob Sadino, maupun William Soerjadjaja juga pernah pailit bahkan terbelit utang. Tidak terkecuali. Setidak-tidaknya pada periode-periode tertentu. Akan tetapi, mereka sama sekali tidak kepikir untuk balik kampung. Alih-alih begitu, mereka malah terus maju. Kini, mereka adalah ikon di jalurnya masing-masing.

Seorang ekonom asal Bangladesh -Muhammad Yunus- akan menunjukkan kepada kita semua apa yang dimaksud dengan gigih. Obsesinya ketika itu adalah bagaimana bank-bank setempat dapat menyalurkan dan mengulurkan kredit kepada warga yang sangat miskin. Bayangkan saja, banyak di antara mereka mengharapkan pinjaman berkisar 12.000 rupiah.

Ide yang sangat mulia ini sempat ia sodorkan ke mana-mana, namun ternyata semua pihak cuma menggelengkan kepala. Sepintar apapun ia berargumen, tetap saja bankir dan pejabat pemerintah berdalih, "Orang melarat tidak layak dikucur kredit." Untunglah, ia termasuk orang yang gigih. Ia tanggalkan dan tinggalkan cara pandang seekor burung. Alih-alih begitu, ia malah mengenakan cara pandang seekor cacing, di mana ia berusaha mengetahui apa yang terhampar tepat di depan mata. Dengan mengendusnya. Dengan menyentuhnya.

Mulanya, ia hanya menjadi semacam penjamin bagi warga yang sangat miskin. Lama-kelamaan, ia malah merintis banknya sendiri -tentu saja sesuai dengan konsep yang ia cita-citakan sedari awal. Namanya Grameen Bank. Tanpa diduga-duga, kini bank itu berhasil menangani 46.000 desa di Bangladesh melalui lebih dari 1.200 cabang. Atas jasanya yang tidak mengenal lelah tersebut, ia pun dianugerahi Nobel Perdamaian. Itulah buah dari kegigihan.
Sumber: Andriewongso

Tahta Untuk Sang Putri

Seorang ayah, kebetulan pengusaha kaya multi-usaha, menghadapi soal yang amat pelik. Siapakah yang harus dipilihnya menjadi President & CEO menggantikan dirinya memimpin kerajaan bisnisnya yang sudah dibangun susah payah lebih dari setengah abad?

Kini usianya sudah berkepala tujuh dan penyakit-penyakit tua sudah mulai menggerogoti dirinya. Ia tahu sebentar lagi dirinya akan mengikuti jejak nenek-moyangnya menuju lorong hidup manusia fana.

Anaknya tiga orang. Si sulung amat cerdas, meraih MSc. dan MBA luar negeri, ia berselera canggih, senang glamour, ambisius, dan punya pergaulan yang luas di kalangan jet set. Cuma si ayah cukup khawatir karena si sulung ini punya bakat bercumbu dengan bahaya seperti (konon) keluarga Kennedy. Naluri
judinya gede, dan niat curangnya pun cukup kuat. Singkatnya, ia cerdas, kreatif, namun lihai dan licin.

Si tengah, lebih hebat lagi. Bergelar PhD. bidang kimia dari universitas beken di Amerika, ia lulus dengan predikat magna cum laude. Papernya bertebaran di jurnal-jurnal internasional. Bangga sekali hati si ayah yang cuma lulus SMP zaman Jepang. Dia dosen dan peneliti. Dan di perusahaan ayahnya dia menjabat sebagai Direktur Riset dan Pengembangan. Tetapi menjadi CEO, ia terlalu akademis.

Kurang cocok dengan bisnis mereka yang kini berspektrum sangat lebar.

Si bungsu, satu-satunya perempuan, cuma lulus S1 dalam negeri.

Meskipun sejak lima tahun terakhir ia bergabung dengan usaha ayahnya sebagai Direktur Grup Konsumer, tetapi ia memulai karirnya di perusahaan asing sebagai wiraniaga (marketing executive). Ia merangkak dari bawah hingga 15 tahun kemudian bisa mencapai posisi General Manager. Otaknya kalah brilian
dibanding kedua kakaknya.

Meskipun cenderung hemat berkata-kata, namun ia menunjukkan bakat memimpin yang baik. Ia mampu mendengar dengan intens. Berbagai pendapat dan gagasan bisa diolahnya dengan dalam.

Gaya hidupnya biasa saja. Ia disenangi sekaligus disegani orang karena sikapnya yang fair, jujur, dan mampu merakyat dengan para bawahannya.

Nah, jika Anda adalah konsultan independen, siapakah pilih an Anda menggantikan sang patriarch menjadi President & CEO?

Saya bertaruh, sebagian besar Anda akan menominasikan si bungsu.

Dan si ayah juga demikian. Masalah ini menjadi pelik, karena menurut adat-istiadat, si sulunglah pewaris takhta. Dan, ia sangat berambisi untuk itu. Sedang si bungsu, selain paling

buncit, perempuan lagi. Jadi ia kalah status, gelar dan gender.

Bagaimana jalan keluarnya?

Konsultan angkat tangan.

Rujukan buku teks tidak ada. Sang patriarch akhirnya hanya bisa mengandalkan wibawa dan hikmatnya sebagai ayah. Lalu dipanggilnya ketiga anaknya.

Dibentangkannya persoalan secara gamblang.

Diuraikannya plus-minus setiap anaknya. Dianalisisnya kemungkinan sukses masing-masing

memimpin grup usaha itu menuju milenium ketiga.

Dialog pun dimulai.

Dan si ayah segera maklum, dead lock akan terjadi.

“Sudahlah, aku akan memutuskan sendiri siapa penggantiku,” kata orangtua itu akhirnya. Ketiganya takzim menurut.

Seminggu kemudian, si ayah datang dengan sebuah ujian.

“Barangsiapa bisa mengisi ruang ini sepenuh-penuhnya, maka dialah penggantiku,” katanya sambil menunjuk ruang rapat yang cuma terisi empat kursi dan sebuah meja bundar. “Budget maksimum Rp1 juta,” tambahnya lagi.

Kesempatan pertama jatuh pada si sulung. Enteng, pikirnya.

Besoknya, dipenuhinya ruangan itu dengan cacahan kertas berkarung-karung. Dan memang ruangan itu menjadi padat.

“Bagus, besok giliranmu,” kata si ayah kepada anak keduanya.

Duapuluh empat jam kemudian, ruangan itu pun dipenuhinya dengan butiran styro- foam yang diperolehnya dengan menghancurkan bekas-bekas packaging.

“Oke, besok giliranmu,” kata sang patriarch menunjuk putrinya.

Esoknya, ketika acara inspeksi dimulai, ternyata ruangan masih kosong.

“Lho, kok kosong?” tanya ketiganya hampir serempak. Sang putri diam saja. Dimatikannya saklar lampu. Dari sakunya dia keluarkan sebatang lilin. Ditaruhnya di atas meja.

Lalu disulutnya dengan sebatang korek api.

“Lihat, ruangan ini penuh dengan terang. Silahkan dinilai, apakah ada celah kosong tak tersinari,” katanya kalem.

Tak terbantah siapa pun, dia dinyatakan menang dan sang putri pun berhak menduduki kursi tertinggi. Problem solved.

Kualitas yang ditunjukkan sang ayah dan putrinya adalah apa yang saya sebut sebagai hikmat. Ciri utama orang berhikmat (wise person) ialah kemampuan memecahkan masalah secara genuine dan memuaskan. Ini selaras dengan Jerry Pino yang merumuskan hikmat sebagai kemampuan membuat the best decision at
any given situation.

Pintar, di pihak lain, adalah kemampuan mencerna dan mengolah informasi secara cepat. Ciri-cirinya, rasional, metodik, linier, dan analitik. Kepintaran umumnya diperoleh dengan olah otak sampai botak.

Dari dulu botak memang ciri orang pintar.

Tetapi hikmat (wisdom) tidak hanya memerlukan olah otak tetapi terutama olah hati. Jarang kita sadari, hati kita sebenarnya bisa berpikir. Dalam tradisi literatur kuno, terutama kitab-kitab suci, hati adalah lokasi kebijaksanaan, hikmat dan kepandaian. Lebih spesifik, hati adalah access point kita kepada
the higher knowledge, yakni kepada Tuhan sendiri. Dalam arti ini, orang bijak selalu berkonotasi orang alim dan saleh.

Kini, ketika rasionalisme warisan Descartes dan Immanuel Kant menjadi panglima, kebijaksanaan yang berasal dari hati (nurani atau suara hati) cenderung dinomorduakan. Yang utama adalah kepala. Dunia politik, bisnis dan kemasyarakatan kita kemudian didominasi oleh para pakar dan teknokrat
bergelar master, doktor, dan profesor.
Sumber:motivasi.web.id

Friday, December 7, 2007

Jangan Pernah Berhenti

Penulis: Gede Prama

Sejumlah sejarahwan yakin, bahwa pidato Winston Churchill yang paling berpengaruh adalah ketika beliau berpidato di wisuda Universitas Oxford. Churchill mempersiapkan pidato ini selama berjam-jam. Dan ketika saat pidatonya tiba, Churchill hanya mengucapkan tiga kata : ‘never give up’ (jangan pernah berhenti).

Sejenak saya merasa ini biasa-biasa saja. Tetapi ketika ada orang yang bertanya ke saya, bagaimana saya bisa berpresentasi di depan publik dengan cara yang demikian menguasai, saya teringat lagi pidato Churchill ini.

Banyak orang berfikir kalau saya bisa berbicara di depan publik seperti sekarang sudah sejak awal. Tentu saja semua itu tidak benar. Awalnya, saya adalah seorang pemalu, mudah tersinggung, takut bergaul dan minder.

Dan ketika memulai profesi pembicara publik, sering sekali saya dihina, dilecehkan dan direndahkan orang. Dari lafal ‘T’ yang tidak pernah lempeng, kaki seperti cacing kepanasan, tidak bisa membuat orang tertawa, pembicaraan yang terlalu teoritis, istilah-istilah canggih yang tidak perlu, serta segudang kelemahan lainnya.

Tidak bisa tidur beberapa minggu, stress atau jatuh sakit, itu sudah biasa. Pernah bahkan oleh murid dianjurkan agar saya dipecat saja menjadi dosen di tempat saya mengajar.

Pengalaman serupa juga pernah dialami oleh banyak agen asuransi jempolan. Ditolak, dibanting pintu, dihina, dicurigai orang, sampai dengan dilecehkan mungkin sudah kebal. Pejuang kemanusiaan seperti Nelson Mandela dan Kim Dae Jung juga demikian. Tabungan kesulitan yang mereka miliki demikian menggunung. Dari dipenjara,hampir dibunuh, disiksa, dikencingin, tetapi toh tidak berhenti berjuang.

Apa yang ada di balik semua pengalaman ini, rupanya di balik sikap ulet untuk tidak pernah berhenti ini, sering bersembunyi banyak kesempurnaan hidup. Mirip dengan air yang menetesi batu yang sama berulang-ulang, hanya karena sikap tidak pernah berhentilah yang membuat batu berlobang.

Besi hanya menjadi pisau setelah ditempa palu besar berulang-ulang, dan dibakar api panas ratusan derajat celsius. Pohon beringin besar yang berumur ratusan tahun, berhasil melewati ribuan angin ribut, jutaan hujan, dan berbagai godaan yang meruntuhkan.

Di satu kesempatan di awal Juni 1999, sambil menemani istri dan anak-anak, saya sempat makan malam di salah satu restoran di depan hotel Hyatt Sanur Bali. Yang membuat kejadian ini demikian terkenang, karena di restoran ini saya dan istri bertemu dengan seorang penyanyi penghibur yang demikian menghibur.

Pria dengan wajah biasa-biasa ini, hanya memainkan musik dan bernyanyi seorang diri. Modalnya, hanya sebuah gitar dan sebuah organ. Akan tetapi, ramuan musik yang dihasilkan demikian mengagumkan. Saya dan istri telah masuk banyak restoran dan kafe. Namun, ramuan musik yang dihadirkan penyanyi dan pemusik solo ini demikian menyentuh. Hampir setiap lagu yang ia nyanyikan mengundang kagum saya, istri dan banyak turis lainnya. Rasanya susah sekali melupakan kenangan manis bersama
penyanyi ini. Sejumlah uang tip serta ucapan terimakasih saya yang dalam, tampaknya belum cukup untuk membayar keterhiburan saya dan istri.

Di satu kesempatan menginap di salah satu guest house Caltex Pacific Indonesia di Pekan Baru, sekali lagi saya bertemu seorang manusia mengagumkan. House boy (baca : pembantu) yang bertanggungjawab terhadap guest house yang saya tempati demikian menyentuh hati saya. Setiap gerakan kerjanya dilakukan sambil bersiul. Atau setidaknya sambil bergembira dan tersenyum kecil. Hampir semua hal yang ada di kepala, tanpa perlu diterjemahkan ke dalam perintah, ia laksanakan dengan sempurna. Purwanto, demikian nama pegawai kecil ini, melakoni profesinya dengan tanpa keluhan.

Bedanya penyanyi Sanur di atas serta Purwanto dengan manusia kebanyakan, semakin lama dan semakin rutinnya pekerjaan dilakukan, ia tidak diikuti oleh kebosanan yang kemudian disertai oleh keinginan untuk berhenti.

Ketika timbul rasa bosan dalam mengajar, ada godaan politicking kotor di kantor yang diikuti keinginan ego untuk berhenti, atau jenuh menulis, saya malu dengan penyanyi Sanur dan house boy di atas. Di tengah demikian menyesakkannya rutinitas, demikian monotonnya kehidupan, kedua orang di atas, seakan-akan faham betul dengan pidato Winston Churchill : “never give up.”

Anda boleh mengagumi tulisan ini, atau juga mengagumi saya, tetapi Anda sebenarnya lebih layak kagum pada penyanyi Sanur dan house boy di atas. Tanpa banyak teori, tanpa perlu menulis, tanpa perlu menggurui, mereka sedang melaksanakan profesinya dengan prinsip sederhana : “jangan pernah berhenti.”

Saya kerap merasa rendah dan hina di depan manusia seperti penyanyi dan pembantu di atas. Bayangkan, sebagai konsultan, pembicara publik dan direktur sebuah perusahaan swasta, tentu saja saya berada pada status sosial yang lebih tinggi dan berpenghasilan lebih besar dibandingkan mereka. Akan tetapi, mereka memiliki mental “never give up” yang lebih mengagumkan.

Kadang saya sempat berfikir, jangan-jangan tingkatan sosial dan penghasilan yang lebih tinggi, tidak membuat mental “never give up” semakin kuat.

Kalau ini benar, orang-orang bawah seperti pembantu, pedagang bakso, satpam, supir, penyanyi rendahan, dan tukang kebunlah guru-guru sejati kita.

Jangan-jangan pidato inspiratif Winston Churchill - sebagaimana dikutip di awal - justru diperoleh dari guru-guru terakhir.

Renungan Hidup

Betapa besarnya nilai uang kertas senilai Rp.100.000 apabila dibawa ke masjid untuk disumbangkan; tetapi betapa kecilnya kalau dibawa ke Mall untuk dibelanjakan!

Betapa lamanya melayani Allah selama lima belas menit namun betapa singkatnya kalau kita melihat film.

Betapa sulitnya untuk mencari kata-kata ketika berdoa (spontan) namun betapa mudahnya kalau mengobrol atau bergosip dengan pacar / teman tanpa harus berpikir panjang-panjang.

Betapa asyiknya apabila pertandingan bola diperpanjang waktunya ekstra namun kita mengeluh ketika khotbah di masjid lebih lama sedikit daripada biasa. Betapa sulitnya untuk membaca satu lembar Al-qur’an tapi betapa mudahnya membaca 100 halaman dari novel yang laris.

Betapa getolnya orang untuk duduk di depan dalam pertandingan atau konser namun lebih senang berada di saf paling belakang ketika berada di Masjid

Betapa Mudahnya membuat 40 tahun dosa demi memuaskan nafsu birahi semata, namun alangkah sulitnya ketika menahan nafsu selama 30 hari ketika berpuasa.

Betapa sulitnya untuk menyediakan waktu untuk sholat 5 waktu; namun betapa mudahnya menyesuaikan waktu dalam sekejap pada saatterakhir untuk event yangmenyenangkan.

Betapa sulitnya untuk mempelajari arti yang terkandung di dalam al qur’an; namun betapa mudahnya untuk mengulang-ulangi gosip yang sama kepada orang lain.

Betapa mudahnya kita mempercayai apa yang dikatakan oleh koran namun betapa kita meragukan apa yang dikatakan oleh Kitab Suci AlQuran.

Betapa setiap orang ingin masuk sorga seandainya tidak perlu untuk percaya atau berpikir,atau mengatakan apa-apa,atau berbuat apa-apa.

Anak Kecil & Waktu

Seperti biasa Rudi, kepala cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Imron, putra pertamanya yang baru duduk di kelas dua SD yang membukakan pintu. Ia nampaknya sudah menunggu cukup lama.

“Kok, belum tidur?” sapa Rudi sambil mencium anaknya.

Biasanya, Imron memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari.

Sambil membuntuti sang ayah menuju ruang keluarga, Imron menjawab, “Aku nunggu Ayah pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Ayah?”

“Lho, tumben, kok nanya gaji Ayah? Mau minta uang lagi, ya?”

“Ah, enggak. Pengen tahu aja.”

“Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Ayah bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp 400.000,-. Dan setiap bulan rata-rata dihitung 25 hari kerja, Jadi, gaji Ayah dalam satu bulan berapa, hayo?”

Imron berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara ayahnya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Rudi beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Imron berlari mengikutinya.

“Kalau satu hari ayah dibayar Rp 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam ayah digaji Rp 40.000,- dong,” katanya.

“Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, bobok,” perintah Rudi.

Tetapi Imron tak beranjak.

Sambil menyaksikan ayahnya berganti pakaian, Imron kembali bertanya, “Ayah, aku boleh pinjam uang Rp 5.000,- nggak?”

“Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini? Ayah capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah.”

“Tapi, Ayah…” Kesabaran Rudi habis.

“Ayah bilang tidur!” hardiknya mengejutkan Imron.

Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya. Usai mandi, Rudi nampak menyesali hardikannya, Ia pun menengok Imron di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Imron didapatinya sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp 15.000,- di tangannya.

Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Rudi berkata, “Maafkan Ayah, Nak. Ayah sayang sama Imron. Buat apa sih minta uang malam-malam begini? Kalau mau beli mainan, besok’ kan bisa. Jangankan Rp 5.000 ,- lebih dari itu pun ayah kasih.”

“Ayah, aku nggak minta uang. Aku pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini.”

“Iya, iya, tapi buat apa?” tanya Rudi lembut.

“Aku menunggu Ayah dari jam 8. Aku mau ajak Ayah main ular tangga. Tiga puluh menit saja. Ibu sering bilang kalau waktu Ayah itu sangat berharga. Jadi, aku mau beli waktu ayah. Aku buka tabunganku, ada Rp 15.000,-. Tapi karena Ayah bilang satu jam Ayah dibayar Rp 40.000,-, maka setengah jam harus Rp 20.000,-. Duit tabunganku kurang Rp 5.000,-. Makanya aku mau pinjam dari Ayah,” kata Imron polos.

Rudi terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat.

Laba-laba dan Raja

Dahulu kala di negeri Skonlandia, ada seorang raja bernama Bruce.

Dia sudah enam kali memimpin pasukannya menuju medan perang melawan sang agresor dari England , namun selama enam kali pertempuran itu, pasukannya selalu babak belur dihajar oleh musuh, hingga terpaksa mengalami kekalahan dan melarikan diri ke hutan.

Akhirnya, dia sendiri juga bersembunyi di sebuah gubuk kosong di dalam hutan belantara.

Suatu hari, hujan turun dengan derasnya, air hujan menerobos dari atap rumah yang bocor mengenai muka Bruce, sehingga dia terbangun dari tidurnya. Sesaat dia merenungi nasibnya yang malang karena tidak dapat mengalahkan musuh, walaupun dia telah mengerahkan segala daya upaya.

Semakin dia memikirkan hal ini, hatinya semakin pedih dan hampir putus asa.

Pada saat itu, mata Bruce menatap ke atas balok kayu yang melintang diatas kepalanya, disana ada seekor laba-laba sedang merajut sarangnya.

Dia dengan seksama memperhatikan gerak gerik laba-laba tersebut, dihitungnya usaha si laba-laba yang telah enam kali berturut-turut berusaha sekuat tenaga mencoba mengaitkan salah satu ujung benang ke balok kayu yang berada di seberangnya, namun akhirnya gagal juga.

“Sungguh kasihan makhluk kecil ini.”
kata Bruce, “Seharusnya kau menyerah saja!”

Namun, sungguh diluar dugaan Bruce, walaupun telah enam kali si laba-laba gagal mengaitkan ujung benangnya, dia tidak lantas putus asa dan berhenti berusaha, dia coba lagi untuk yang ke tujuh kalinya, dan kali ini dia berhasil. Melihat ini semua, Bruce sungguh merasa kagum dan lupa pada nasib yang menimpa dirinya.

Bruce akhirnya berdiri dan menghela napas panjang, lalu dengan lantang dia berteriak: “Aku juga akan bertempur lagi untuk yang ketujuh kalinya!”

Bruce akhirnya benar-benar mendapatkan semangatnya kembali, ia segera mengumpulkan dan melatih lagi sisa-sisa pasukannya, lalu mengatur strategi dan menggempur lagi pertahanan musuh, dengan susah payah dan perjuangan yang tak kenal menyerah, akhirnya Bruce berhasil mengusir pasukan musuh dan merebut kembali tanah airnya.

Kisah Seekor Belalang

Seekor belalang telah lama terkurung dalam sebuah kotak. Suatu hari ia berhasil keluar dari kotak yang mengurungnya tersebut. Dengan gembira ia melompat-lompat menikmati kebebasannya.

Di perjalanan dia bertemu dengan seekor belalang lain. Namun dia keheranan mengapa belalang itu bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh darinya.

Dengan penasaran ia menghampiri belalang itu, dan bertanya, “Mengapa kau bisa melompat lebih tinggi dan lebih jauh, padahal kita tidak jauh berbeda dari usia ataupun bentuk tubuh ?”.

Belalang itu pun menjawabnya dengan pertanyaan, “Dimanakah kau selama ini tinggal? Karena semua belalang yang hidup di alam bebas pasti bisa melakukan seperti yang
aku lakukan”.

Saat itu si belalang baru tersadar bahwa selama ini kotak itulah yang membuat lompatannya tidak sejauh dan setinggi belalang lain yang hidup di alam bebas.

Renungan :
Kadang-kadang kita sebagai manusia, tanpa sadar, pernah juga mengalami hal yang sama dengan belalang.

Lingkungan yang buruk, hinaan, trauma masa lalu, kegagalan yang beruntun, perkataan teman atau pendapat tetangga, seolah membuat kita terkurung dalam kotak semu yang
membatasi semua kelebihan kita. Lebih sering kita mempercayai mentah-mentah apapun yang mereka voniskan kepada kita tanpa pernah berpikir benarkah Anda separah itu?
Bahkan lebih buruk lagi, kita lebih memilih mempercayai mereka daripada mempercayai diri sendiri.

Tidakkah Anda pernah mempertanyakan kepada nurani bahwa Anda bisa “melompat lebih tinggi dan lebih jauh” kalau Anda mau menyingkirkan “kotak” itu? Tidakkah Anda ingin membebaskan diri agar Anda bisa mencapai sesuatu yang selama ini Anda anggap diluar batas kemampuan Anda?

Beruntung sebagai manusia kita dibekali Tuhan kemampuan untuk berjuang, tidak hanya menyerah begitu saja pada apa yang kita alami. Karena itu teman, teruslah berusaha mencapai apapun yang Anda ingin capai. Sakit memang, lelah memang, tapi bila Anda sudah sampai di puncak, semua pengorbanan itu pasti akan terbayar.

Kehidupan Anda akan lebih baik kalau hidup dengan cara hidup pilihan Anda. Bukan cara hidup seperti yang mereka pilihkan untuk Anda.

Gadis Kecil Dan Kotak Emas

Di sebuah keluarga miskin, seorang ayah tampak kesal pada anak perempuannya yang berusia tiga tahun. Anak perempuannya baru saja menghabiskan uang untuk membeli kertas kado emas untuk membungkus sekotak kado.

Keesokan harinya, anak perempuan itu memberikan kado itu sebagai hadiah ulang tahun pada sang ayah.

“Ini untuk ayah,” kata anak gadis itu.

Sang ayah tak jadi marah. Namun ketika ia membuka kotak dan mendapatkan isinya kosong, meledaklah kemarahannya.

“Tak tahukah kau, kalau kau menghadiahi kado pada seseorang, kau harus memberi sebuah barang dalam kotak ini!”

Anak perempuan kecil itu menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Ia berkata terisak-isak, “Oh ayah, sesungguhnya aku telah meletakkan sesuatu ke dalam kotak itu.”

“Apa yang kau letakkan ke dalam kotak ini? Bukankah kau lihat kotak ini kosong?” bentak ayahnya.

“Oh ayah, sungguh aku telah meletakkan hampir ribuan ciuman untuk ayah ke dalam kotak itu,” bisik anak perempuan itu.

Sang ayah terperangah mendengar jawaban anak perempuan kecilnya. Ia lalu memeluk erat-erat anak perempuannya dan meminta maaf.

Konon, orang-orang menceritakan bahwa, pria itu selalu meletakkan kotak kado itu di pinggir tempat tidurnya sampai akhir hayat. Kapan pun ia mengalami kekecewaan, marah atau beban yang berat, ia membayangkan ada ribuan ciuman dalam kotak itu yang mengingatkan cinta anak perempuannya.

Dan sesungguhnya kita telah menerima sebuah kotak emas penuh berisi cinta tanpa pamrih dari orang tua, istri/suami, anak, pasangan, teman dan sahabat kita. Tak ada yang lebih indah dan berharga dalam hidup ini selain cinta.

Disadur dari: Ana Lucia, A Little Girl and The Golden Box

Semangkuk Bakmi Panas

Pada malam itu, Ana bertengkar dengan ibunya. Karena sangat marah, Ana segera meninggalkan rumah tanpa membawa apapun. Saat berjalan di suatu jalan, ia baru menyadari bahwa ia sama sekali tdk membawa uang.

Saat menyusuri sebuah jalan, ia melewati sebuah kedai bakmi dan ia mencium harumnya aroma masakan. Ia ingin sekali memesan
semangkuk bakmi, tetapi ia tdk mempunyai uang.

Pemilik kedai melihat Ana berdiri cukup lama di depan kedainya, lalu berkata “Nona, apakah engkau ingin memesan semangkuk bakmi?” ” Ya, tetapi, aku tdk membawa uang” jawab Ana dengan malu-malu
“Tidak apa-apa, aku akan mentraktirmu” jawab si pemilik kedai. “Silahkan duduk, aku akan memasakkan bakmi untukmu”.

Tidak lama kemudian, pemilik kedai itu mengantarkan semangkuk bakmi. Ana segera makan beberapa suap, kemudian air matanya mulai berlinang. “Ada apa nona?”
Tanya si pemilik kedai.
“tidak apa-apa” aku hanya terharu jawab Ana sambil mengeringkan air matanya.

“Bahkan, seorang yang baru kukenal pun memberi aku semangkuk bakmi !, tetapi,? ibuku sendiri, setelah bertengkar denganku, mengusirku dari rumah dan mengatakan kepadaku agar jangan kembali lagi ke rumah”
“Kau, seorang yang baru kukenal, tetapi begitu peduli denganku dibandingkan dengan ibu kandungku sendiri” katanya kepada pemilik kedai.

Pemilik kedai itu setelah mendengar perkataan Ana, menarik nafas panjang dan berkata “Nona mengapa kau berpikir seperti itu? Renungkanlah hal ini, aku hanya memberimu semangkuk bakmi dan kau begitu terharu. Ibumu telah memasak bakmi dan nasi untukmu saat kau kecil sampai saat ini, mengapa kau tidak berterima kasih kepadanya? Dan kau malah bertengkar dengannya”

Ana, terhenyak mendengar hal tsb. “Mengapa aku tdk berpikir ttg hal tsb? Utk semangkuk bakmi dr org yg baru kukenal, aku begitu
berterima kasih, tetapi kepada ibuku yg memasak untukku selama bertahun-tahun, aku bahkan tidak memperlihatkan kepedulianku kepadanya. Dan hanya karena persoalan sepele, aku bertengkar dengannya.

Ana, segera menghabiskan bakminya, lalu ia menguatkan dirinya untuk segera pulang ke rumahnya. Saat berjalan ke rumah, ia memikirkan kata-kata yg hrs diucapkan kpd ibunya. Begitu sampai di ambang pintu rumah, ia melihat ibunya dengan wajah letih dan cemas. Ketika bertemu dengan Ana, kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah “Ana kau sudah pulang, cepat masuklah, aku
telah menyiapkan makan malam dan makanlah dahulu sebelum kau tidur, makanan akan menjadi dingin jika kau tdk memakannya sekarang”. Pada saat itu Ana tdk dapat menahan tangisnya dan ia menangis dihadapan ibunya.

Sekali waktu, kita mungkin akan sangat berterima kasih kpd org lain disekitar kita untuk suatu pertolongan kecil yang diberikan
kepada kita. Tetapi kpd org yang sangat dekat dengan kita (keluarga) khususnya orang tua kita, kita harus ingat bahwa kita berterima kasih kepada mereka seumur hidup Kita.

RENUNGAN:

Bagaimanapun Kita Tidak Boleh Melupakan Jasa Orang Tua kita. Seringkali kita menganggap mereka merupakan sustu proses alami yang biasa saja. Tetapi kasih dan kepedulian orang tua kita adalah hadiah paling berharga yang diberikan kepada kita sejak lahir. Pikirkanlah hal itu !!!
Apakah kita mau menghargai pengorbanan tanpa syarat dari orang tua kita?

Hai Anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah didalam Tuhanmu.

Thursday, December 6, 2007

Semut dan Lalat

Beberapa ekor lalat nampak terbang berpesta diatas sebuah tong sampah didepan sebuah rumah. Suatu ketika anak pemilik rumah keluar dan tidak menutup kembali pintu rumah kemudian nampak seekor lalat bergegas terbang memasuki rumah itu. Si lalat langsung menuju sebuah meja makan yang penuh dengan makanan lezat. "Saya bosan dengan sampah-sampah itu, ini saatnya menikmati makanan segar" katanya.

Setelah kenyang si lalat bergegas ingin keluar dan terbang menuju pintu saat dia masuk, namun ternyata pintu kaca itu telah terutup rapat. Si lalat hinggap sesaat di kaca pintu memandangi kawan-kawannya yang melambai-lambaikan tangannya seolah meminta agar dia bergabung kembali dengan mereka.

Si lalat pun terbang di sekitar kaca, sesekali melompat dan menerjang kaca itu, dengan tak kenal menyerah si lalat mencoba keluar dari pintu kaca. Lalat itu merayap mengelilingi kaca dari atas ke bawah dan dari kiri ke kanan bolak-balik demikian terus dan terus berulang-ulang. Hari makin petang si lalat itu nampak kelelahan dan kelaparan dan esok paginya Nampak lalat itu terkulai lemas terkapar di lantai.

Tak jauh dari tempat itu nampak serombongan semut merah berjalan beriringan keluar dari sarangnya untuk mencari makan dan ketika menjumpai lalat yang tak berdaya itu, serentak mereka mengerumuni dan beramai-ramai menggigit tubuh lalat itu hingga mati. Kawanan semut itu pun beramai-ramai mengangkut bangkai lalat yang malang itu menuju sarang mereka.

Dalam perjalanan seekor semut kecil bertanya kepada rekannya yang lebih tua "Ada apa dengan lalat ini Pak?, mengapa dia sekarat?".

"Oh.. itu sering terjadi, ada saja lalat yang mati sia-sia seperti ini, sebenarnya mereka ini telah berusaha, dia sungguh-sungguh telah berjuang keras berusaha keluar dari pintu kaca itu namun ketika tak juga menemukan jalan keluar, dia frustasi dan kelelahan hingga akhirnya jatuh sekarat dan menjadi menu makan malam kita" Semut kecil itu Nampak manggut-manggut, namun masih penasaran dan bertanya lagi "Aku masih tidak mengerti, bukannya lalat itu sudah berusaha keras? kenapa tidak berhasil?".

Masih sambil berjalan dan memanggul bangkai lalat, semut tua itu menjawab "Lalat itu adalah seorang yang tak kenal menyerah dan telah mencoba berulang kali, hanya saja dia melakukannya dengan cara-cara yang sama". Semut tua itu memerintahkan rekan-rekannya berhenti sejenak seraya melanjutkan perkataannya namun kali ini dengan mimik & nada lebih serius "Ingat anak muda, jika kamu melakukan sesuatu dengan cara yang sama namun mengharapkan hasil yang berbeda, maka nasib kamu akan seperti lalat ini".

"Para pemenang tidak melakukan hal-hal yang berbeda, mereka hanya melakukannya dengan cara yang berbeda".

Sumber: PortalInfaq


Uang Receh

Petang itu dalam sebuah meeting yang dihadiri sejumlah top management suasana agak tegang saat salah seorang General Manager akan dicopot dari jabatannya oleh sang Bos dikarenakan beberapa kasus dan prestasi buruk sepanjang tahun. Di ruangan yang dingin itu dibahas hal-hal apa saja yang akan dilakukan untuk pembenahan operasional salah satu anak perusahaan, termasuk menentukan siapa calon penggantinya.

Dipastikan ada seseorang yang harus meninggalkan perusahaan tapi di sisi lain ada peluang yang akan membuat seseorang mendapatkan promosi. Di tengah-tengah rapat sang Bos bertanya kepada orang-orang kepercayaannya tentang siapa calon pengganti yang pantas. "Silahkan usulkan, sebut saja nama, malam ini juga kita harus bikin keputusan"

Nama demi nama disebutkan oleh peserta rapat di ruangan itu, dari beberapa nama yang muncul ke permukaan terlihat beragam reaksi dari si Bos, mulai dari nama yang tak dikenal sama sekali, ada yang agak dikenal, ada yang lupa-lupa ingat, hingga yang dikenal dengan sangat baik karena reputasinya yang baik atau sebaliknya.

Nampak si Bos bimbang dalam menetapkan hingga salah seorang direkturmembicarakan nama seseorang yang tadi paling banyak disebut. Kening si Bos nampak berkerut namun matanya bersinar menunjukkan ketertarikannya "Oh ya, saya ingat, dia pernah menjemput saya di bandara, kelihatannya orang ini cukup baik, bagaimana ?" Beberapa komentar mulai terucap "Saat kunjungan di lapangan, orang ini sangat dikenal baik oleh pelanggan-pelanggan kita" komentar seorang kepala divisi disusul nada positif lain mulai dari prestasinya, kepemimpinan, attitude, karakter, hingga komentar-komentar yang bersifat agak pribadi. Dan si Bos pun setuju memutuskan orang tersebut dipromosi menjadi GM dan minta dihubungi malam itu juga untuk besok pagi-pagi berangkat ke Jakarta untuk proses serah terima dengan GM yang akan digantikannya.

Sejenak saya tertegun menyaksikan proses pencarian calon pengganti yang juga proses promosi seseorang, sampai salah seorang direktur yang ada di dekat saya berbisik "Kamu tahu? Ini yang dinamakan mengumpulkan uang receh", Apa maksudnya Pak?" tanya saya penasaran.. "Ya, disadari atau tidak, ada banyak hal positif yang selama ini dilakukan oleh Bernard dan hal-hal kecil yang dilakukannya membuat banyak orang disini terkesan. Sekalipun itu hal-hal kecil, ibarat uang receh yang pada saat terkumpul dan dilakukan penghitungan, ternyata nilainya sangat tinggi"

Dalam hidup ini anda tidak harus melakukan hal besar sekaligus, ada banyak hal-hal kecil positif yang bisa kita lakukan dan saat waktunya tiba, nilai dari kumpulan uang receh itu sungguh diluar dugaan.

Salam bijaksana,
Haryo Ardito,

Ilmuwan dengan Tikus Putih

Seorang ilmuwan tengah menguji potensi dan kekuatan seekor tikus putih. Setiap pagi ia mengeluarkan seekor tikus putih pilihan dari kandang lalu memasukkannya kedalam suatu mesin kaca yang penuh dengan air. Ilmuwan itu memperhatikan bagaimana tikus itu berjuang untuk dapat tetap hidup.

Apabila tikus itu kelihatan sudah kehilangan tenaga dan mulai tenggelam ke dasar air, maka ia segera memberikan tangan kanannya lalu mengangkat tikus itu. Ia selalu mencatat secara lengkap semua perkembangan selama satu minggu. Dari catatan tersebut diketahui bahwa kekuatan dan ketahanan tikus di dalam air meningkat dari hari ke hari.

Pada hari ke delapan, ia kembali menguji coba kekuatan dan ketahanan tikus. Tetapi belum lama berselang ia mendengar telpon genggamnya berdering. Ia berbincang cukup lama dengan seseorang di seberang telpon yang tak lain adalah pacarnya sendiri. Sedangkan tikus yang tengah berjuang di dalam air sengaja tidak berupaya lebih keras karena mengira sang ilmuwan pasti menolongnya. Tetapi nahas, saat itu si tikus benar-benar mati tenggelam karena ilmuwan tersebut terlalu asyik berbincang dengan pacarnya.

Siapakah yang membunuh tikus itu? Jawabnya adalah pikiran tikus itu sendiri. Secara ilmiah berdasarkan catatan perkembangan ketahanan dan kemampuan si tikus, ilmuwan itu menilai seharusnya tikus itu mampu bertahan lebih lama. Tetapi karena tikus itu terlanjur hanya mengharapkan bantuan yang tak kunjung datang, maka ia pun mati.

Pesan:
Si tikus mati tenggelam bukan karena ia tidak mampu berenang. Telah disebutkan bahwasanya kemampuan dan ketahanan tikus sudah cukup baik bahkan meningkat dari hari ke hari. Persoalannya adalah ia tidak bersedia memperjuangkan hidupnya itu dan hanya mengandalkan bantuan orang lain yaitu sang ilmuwan.

Kisah tersebut menginspirasikan bahwa setiap tingkat kemajuan atau keberhasilan seseorang selalu didahului dengan tantangan. Bila kita
sudah dapat menahklukkan tantangan tersebut, dengan sendirinya kekuatan dan prestasi kita setingkat lebih maju. Sehingga keberhasilan kita terletak pada seberapa besar kemauan kita untuk menahklukkan tantangan tersebut, karena Tuhan YME sudah memberi kita dua tangan agar kita bisa membantu diri kita sendiri.

Tak ubahnya bila kita ingin sukses, maka kita harus bersedia memperbaiki diri dan gigih berusaha. "Victory belongs to the most persevering. -Kejayaan adalah milik mereka yang gigih," kata Napoleon Bonaparte, mantan penguasa di Perancis yang hidup pada tahun 1769 sampai tahun1821. Karena keadaan kita tidak akan pernah lebih baik bila hanya mengandalkan bantuan orang lain.


Batu-Batu Berharga

Alkisah, di sebuah sekolah perniagaan, seorang guru besar sedang menyampaikan mata pelajaran tentang ekonomi sosial. Di depan kelas, dengan hati-hati si guru meletakkan sebuah toples kaca di atas meja. Dengan diikuti tatapan mata para siswanya, dia mengeluarkan sekantong penuh batu dan memasukannya satu persatu ke dalam toples itu sampai tidak ada lagi batu yang bisa dimasukkan lagi. Setelah melakukan hal tersebut, si guru bertanya kepada para siswanya, "Anak-anak, apakah toples ini sudah penuh?" "Ya!" jawab mereka serempak.

Sambil tersenyum, sang guru meraih tas kedua dari bawah mejanya yang berisi batu kerikil. Dia kemudian menuangkan kerikil itu sambil menggoyang-goyangkan toples untuk mengisi celah-celah di antara batu-batu yang telah ada di dalam toples tadi. Untuk kedua kalinya, dia bertanya kepada para siswanya, "Sekarang, apakah toples ini sudah penuh?" "Belum!" jawab mereka setelah tahu arah pertanyaan si guru.

Kali ini jawaban mereka benar. Si guru mengambil kantong berisi pasir halus. Ia pun kemudian menuangkan pasir halus ke dalam toples untuk mengisi celah-celah di antara batu-batu besar dan kerikil-kerikil yang telah dimasukkan sebelumnya. Lagi-lagi dia bertanya, "Nah, apakah sekarang toples ini sudah penuh?"  "Mungkin penuh, mungkin juga belum penuh Pak. Yang tahu jawabannya cuma bapak," jawab para siswa.

Jawaban itu membuat si guru tersenyum. Ia lantas mengeluarkan seteko air dan menuangkan ke dalam toples hingga air pun memenuhi permukaan toples.Dia meletakkan teko dan memandang ke seluruh kelas. "Lantas, dari hal-hal tadi, pelajaran apakah yang dapat kalian petik?" "Tak peduli seberapa padat jadwal kegiatan kita, selalu akan bisa ditambahkan sesuatu ke dalamnya," jawab seorang siswa karena merasa sedang mengikuti kelas perniagaan.

"Bukan sekadar itu! Yang ditunjukkan disini adalah dengan memasukkan batu-batu besar lebih dahulu, disusul batu kerikil lalu pasir, dan terakhir air, maka cara seperti itu bisa membuat toples terisi secara maksimal. Artinya, ini merupakan sebuah pelajaran tentang prioritas. Kalian mengerti?" sebut si guru. Serentak para murid pun mengangguk-anggukkan kepala, tanda mendapat jawaban dan pelajaran yang memuaskan.

Pembaca yang budiman,
Pengertian tentang prioritas sangatlah penting. Sebab, kadangkala kita melakukan pekerjaan dengan hasil yang tidak optimal, hanya karena kita tidak memperhitungkan dengan cermat mana pekerjaan yang penting dan mendesak untuk lebih dahulu dikerjakan. Jikalau kita mampu memilih dan memilah pekerjaan dengan memprioritaskan atau mendahulukan pekerjaan yang penting dan mendesak, maka, apa yang kita lakukan akan bisa berjalan lebih efektif dan berdayaguna. Dengan begitu, hasil yang dicapai pun akan bisa lebih maksimal.

Itulah inti dari pengertian prioritas. Cukup sederhana, namun membutuhkan latihan demi latihan, dalam praktek pekerjaan atau kegiatan di kehidupan kita sehari-hari. Maka, mari kita raih kesuksesan dengan cara membangun kebiasaan menentukan skala prioritas dalam segala aktivitas yang kita lakukan.

Salam Sukses Luar Biasa!!!

Andrie Wongso

Wednesday, December 5, 2007

973 Principles

TAHUKAH ANDA 973 PRINCIPLES ( Prinsip 973 ) ?
Mengapa hanya 3% orang-orang yang Sukses Secara Keuangan? Karena ketika Ada Peluang datang..97% orang akan :
*  Pikir-pikir dulu. ( terlalu lama berpikir )
*  Takut / ragu-ragu. ( terlalu berhati-hati sama buruknya dengan tidak berhati-hati )
*  Belum mau sekarang. ( menunda-nunda )
*  Uangnya ditabung saja. ( bingung sehingga cari aman, padahal bunga anda tidak bisa menutup inflasi )
*  Tidak Percaya. ( pengetahuan kurang namun malu untuk konsultasi pada yang ahli & sudah sukses )
*  Tidak punya waktu. ( hanya sebagai alasan karena malas, pastinya anda memiliki waktu 3 jam sisa sehari )
*  Menunggu politik dan ekonomi stabil. ( hanya sekadar alasan karena dalam keadaan apapun peluang ada )
*  Tidak punya uang, dll. ( sebagian besar dari alasan, padahal banyak jalan keluarnya jika mau )
           

Hasilnya :
97% Orang akan menyusul bergabung kemudian, akhirnya HANYA TERSISA 3% yang dapat dinikmati. ( Banyak orang perebutkan sisa yang tinggal sedikit). Dan hanya 3% orang yang akan :
*  Cepat pelajari peluang tersebut dan ambil keputusan.
*  Cepat menjalankan dengan semangat dan sepenuh hati setiap saat.
           

Hasilnya : 3% Orang akan menikmati 97% dari total hasil yang ada. (Sedikit orang yang menikmati hasil yang begitu berlimpah ) Jika diri anda masih sebagian besar seperti orang-orang yang 97% (orang-orang pada umumnya). Anda kami sarankan untuk membaca buku RICH DAD, POOR DAD lebih dulu. Kami yakin hidup anda akan berubah jika anda bersedia terbuka dan mau membacanya..


Keyakinan Yang Membawa Hasil

Untuk menggapai kesuksesan dalam suatu usaha dibutuhkan satu sikap yang sangat penting, yaitu keyakinan terhadap apa yang kita lakukan atau kita jalani. Demikian juga sebagai networker, apabila kita sendiri tidak yakin dengan perusahaan tempat kita bergabung, maka tidak seorang pun yang dapat kita yakini.

Sebagai contoh, apabila anda adalah seorang laki-laki, kemudian ada seorang yang berkata kepada anda bahwa anda itu adalah wanita. Tentu dengan lantang anda akan berkata saya laki-laki. Kemudian ada 10 orang yang mengatakan bahwa anda wanita, dengan tegas anda menjawab bahwa anda laki-laki. Bagaimana kalau yang mengatakan hal tersebut 100 orang bahkan 1.000 orang? Anda tidak perlu pulang ke rumah, masuk ke kamar kecil dan memeriksa apakah sebenarnya anda itu laki-laki atau wanita. Karena sudah pasti anda itu laki-laki. Demikianlah sikap yang harus anda miliki sebagai networker.

Situasi yang dihadapi oleh para networker dapat dianalogikan dengan situasi dimana pada suatu waktu semua orang percaya bahwa bumi adalah pusat dari tata surya dan bentuknya adalah datar. Pada saat ilmuwan Nicolas Copernicus mengatakan bahwa matahari adalah pusat dari tata surya dan Christopher Columbus berusaha meyakinkan orang bahwa bumi adalah bulat. Reaksi masyarakat pada waktu itu adalah mengatakan kedua orang ini adalah orang gila. Tapi hal ini tidak menyurutkan keyakinan mereka.

Demikian juga dengan apa yang sering kita alami, karena bisnis jaringan seperti membalikkan paradigma yang sudah ada saat ini, bahwa bisnis itu harus bermodal besar, kalau dibawah Rp100juta, tidak akan dipandang. Harus ada karyawannya, ada kantornya dan lain sebagainya. Orang masih curiga terhadap bisnis jaringan dan tidak percaya bahwa dia bisa berhasil serta mensejahterakan orang lain.

Akan sangat susah bagi anda untuk melawan arus tersebut apalagi kalau keyakinan yang anda miliki tidak besar.

Banyak sekali fasilitas yang kita miliki saat ini lahir dari suatu keyakinan besar untuk melawan arus :
* Anda tidak bisa berpergian dengan nyaman dan cepat dengan pesawat terbang seandainya Wright bersaudara tidak tahan terhadap cemoohan orang mengenai logam yang berat jenisnya lebih besar dari udara dapat melayang. * Anda tidak bisa berkomunikasi dengan nyaman lewat telepon seandainya Alexander Graham Bell tidak tahan terhadap cemoohan orang bahwa mana mungkin bisa mengantar suara orang lewat udara.

Jadi, bila anda mau berhasil, tingkatkanlah keyakinan anda, ambil kamus dan hilangkan kata tidak mungkin (impossible) dari dalam kamus atau benak anda. Never give up & Raise Yourself To Help Mankind.

Hendras

Keep on Moving

Janganlah anda berhenti. Bukan karena berhenti akan menghambat laju kemajuan anda. Namun sesungguhnya alam mengajarkan bahwa anda tak akan pernah bisa berhenti. Meski anda berdiam diri di situ, bumi tetap mengajak anda mengelilingi matahari. Maka, bergeraklah, beusahalah, berkaryalah. Bekerja bukan sekedar untuk meraih sesuatu. Bekerja memberi kebahagiaan diri. Itulah yang diharapkan oleh alam dari anda.

Air yang tak bergerak lebih cepat busuk. Kunci yang tak pernah dibuka lebih mudah serat. Mesin yang tak dinyalakan lebih gampang berkarat. Hanya perkakas yang tak digunakanlah yang disimpan dalam laci berdebu. Alam telah mengajarkan ini. Jangan berhenti berusaha, berkarya, bergeraklah, lakukan sesuatu atau anda segera menjadi tua dan tak berguna.

Di bawah ini ada sebuah daftar kegagalan dari orang yang semasa hidupnya mengalami banyak tantangan dan badai, namun tiada hentinya dia berusaha..........dan berhasil.

1831 - ia mengalami kebangkrutan dalam usahanya.
1832 - ia menderita kekalahan dalam pemilihan tingkat lokal.
1833 - ia kembali menderita kebangkrutan.
1835 - istrinya meninggal dunia.
1836 - ia menderita tekanan mental sedemikian rupa, sehingga hampir saja masuk rumah sakit jiwa.
1837 - ia menderita kekalahan dalam suatu kontes pidato.
1840 - ia gagal dalam pemilihan anggota senat Amerika Serikat.
1842 - ia menderita kekalahan untuk duduk di dalam kongres Amerika Serikat.
1848 - ia kalah lagi di konggres Amerika Serikat.
1855 - ia gagal lagi di senat Amerika Serikat.
1856 - ia kalah dalam pemilihan untuk menduduki kursi wakil presiden Amerika Serikat.
1858 - ia kalah lagi di senat Amerika Serikat.
1860 - ia akhirnya menjadi presiden Amerika Serikat.

Siapakah dia? Namanya adalah Abraham Lincoln.

Memotivasi Karyawan Berbuat Salah

MINGGU lalu, saya terlibat diskusi menarik dengan seorang eksekutif asuransi. Ia berkata, agen terbaiknya kebanyakan orang yang pernah gagal. Makin dalam kegagalan seseorang, makin besar kemungkinan suksesnya. Biasanya orang-orang seperti itu ibarat kata pernah mengalami hal terburuk, atau pernah merasakan dasar jurang paling dalam dan gelap.

 

Motivasinya untuk bangkit dan sukses besar sekali. Dengan semangat baja, mereka maju bak lokomotif berkecepatan tinggi. Ada sebuah buku kecil, dikarang Richard Parson dan Ralph Keyes. Judulnya edan " Whoever makes the most mistakes wins" -- siapa yang membuat kesalahan terbesar biasanya menjadi pemenangnya. Sesuatu yang amat bertentangan, bukan? Richard Parson adalah dokter dalam ilmu psikologi. Ia pernah jadi perwira angkatan laut dan dosen. Ralph Keyes adalah penulis yang inovatif.

Mereka menganjurkan agar Anda memotivasi karyawan berbuat salah. Metode ini disebutnya productive mistake-making. Yaitu membuat kesalahan yang produktif. Richard mengutip sejumlah kasus perusahaan yang dikenal inovatif, seperti Xerox dan Polaroid. Mereka mudah kehilangan daya imajinasinya karena bertahan pada sukses-sukses sebelumnya.
 

Perusahaan seperti Coca-Cola justru bangkit dari kubur karena kesalahan besarnya saat meluncurkan New Coke. IBM juga tahan banting karena pernah diterpa sejumlah masalah, yang memaksanya melakukan reinventing. Anda mungkin akan garuk-garuk kepala, dan mengatakan teori ini mustahil benar. Namun, bila Anda urut, sejumlah kejadian dalam kehidupan ini justru ditopang kesalahan yang kita buat. Richard Parson menyebutnya paradoks inovasi. Intinya, memotivasi orang berbuat kesalahan yang produktif.

Menurut Richard Parson, kesalahan biasanya terjadi tanpa sengaja. Kesempatan belajar dan berinovasi akan terbatas kalau kesalahan cuma dating sesekali. Parson menyarankan agar secara sistematis kita memotivasi karyawan terjun berbuat salah, supaya inovasi berjalan sistematis dan teratur. Di sini triknya. Mana ada bos yang gegabah dan tega memotivasi anak buahnya berbuat salah, bukan untuk sukses? Jelas sangat edan!

Di dalam bukunya, Parson dan Keyes mencontohkan John Wooden, pelatih basket di University of California Los Angeles, Amerika. Selama 27 tahun sebagai pelatih, John tak pernah kalah satu musim kompetisi pun. Ia pernah menggiring timnya menang piala bergengsi kejuaraan olahraga antarperguruan tinggi (NCAA) selama 10 kali, tujuh kali di antaranya berturut-turut.

 

Tekniknya memotivasi tim sangat unik. Ia menggunakan jurus productive mistake-making. Ia mengajak anak buahnya bermain habis-habisan. Menang atau kalah, menurut dia, cuma efek sampingan. Kalau mainnya bagus, menang menjadi proses alamiah.

 

Hal sama dialami pelatih beken Phil Jackson, dari LA Lakers. Mulanya ia terobsesi menang sebagai hasil akhir. Lewat sejumlah pengalaman religius, ia berubah. Ia berkata, sukses akan terjadi bila Anda memiliki kesadaran penuh dan menyatu dengan semua peristiwa di sekeliling Anda. Sama dengan John Wooden, ia menganggap menang cuma efek sampingan.

Metode ini membuatnya mampu mencetak pemain sekaliber Michael Jordan, Kobe Bryant, dan Shaquille O'Neal. Phil Jackson menjadi pelatih basket termahal dalam sejarah.

Memotivasi karyawan untuk berbuat kesalahan secara sistematis rasanya memang ide gila. Namun, Parson dan Keyes menulis, sukses dan gagal persis sama dengan prinsip zen soal terang dan gelap. Yaitu sukses tak akan ada tanpa kegagalan. Gagal tak akan pernah ada kalau tak ada sukses. Kita membutuhkan keduanya. Daripada kegagalan menjadi beban, Parson dan Keyes menganjurkan agar kita menggunakan kegagalan, dan kesalahan, sebagai motivasi yang produktif.



Sifat Kepiting

Mungkin banyak yang tahu wujud kepiting, tapi tidak banyak yang tahu sifat kepiting. Semoga Anda tidak memiliki sifat kepiting yang dengki.

Di Filipina, masyarakat pedesaan gemar sekali menangkap dan memakan kepiting sawah. Kepiting itu ukurannya kecil namun rasanya cukup lezat. Kepiting-kepiting itu dengan mudah ditangkap di malam hari, lalu dimasukkan ke dalam baskom/wadah, tanpa diikat.

Keesokkan harinya, kepiting-kepiting ini akan direbus dan lalu disantap untuk lauk selama beberapa hari. Yang paling menarik dari kebiasaan ini, kepiting-kepiting itu akan selalu berusaha untuk keluar dari baskom, sekuat tenaga mereka, dengan menggunakan capit-capitnya yang kuat. Namun seorang penangkap kepiting yang handal selalu tenang meskipun hasil buruannya selalu berusaha meloloskan diri.

Resepnya hanya satu, yaitu si pemburu tahu betul sifat si kepiting.

Bila ada seekor kepiting yang hampir meloloskan diri keluar dari baskom, teman-temannya pasti akan menariknya lagi kembali ke dasar. Jika ada lagi yang naik dengan cepat ke mulut baskom, lagi-lagi temannya akan menariknya turun… dan begitu seterusnya sampai akhirnya tidak ada yang berhasil keluar. Keesokan harinya sang pemburu tinggal merebus mereka semua dan matilah sekawanan kepiting yang dengki itu.

Begitu pula dalam kehidupan ini…

tanpa sadar kita juga terkadang menjadi seperti kepiting-kepiting itu. Yang seharusnya bergembira jika teman atau saudara kita mengalami kesuksesan kita malahan mencurigai, jangan-jangan kesuksesan itu diraih dengan jalan yang nggak bener. Apalagi di dalam bisnis atau hal lain yang mengandung unsur kompetisi, sifat iri, dengki, atau munafik akan semakin nyata dan kalau tidak segera kita sadari tanpa sadar kita sudah membunuh diri kita sendiri.

Kesuksesan akan datang kalau kita bisa menyadari bahwa di dalam bisnis atau persaingan yang penting bukan siapa yang menang, namun terlebih penting dari itu seberapa jauh kita bisa mengembangkan diri kita seutuhnya. Jika kita berkembang, kita mungkin bisa menang atau bisa juga kalah dalam suatu persaingan, namun yang pasti kita menang dalam kehidupan ini.

Pertanda seseorang adalah 'kepiting':

1. Selalu mengingat kesalahan pihak luar (bisa orang lain atau situasi) yang sudah lampau dan menjadikannya suatu prinsip/pedoman dalam bertindak

2. Banyak mengkritik tapi tidak ada perubahan

3. Hobi membicarakan kelemahan orang lain tapi tidak mengetahui kelemahan dirinya sendiri sehingga ia hanya sibuk menarik kepiting-kepiting yang akan keluar dari baskom dan melupakan usaha pelolosan dirinya sendiri.

...Seharusnya kepiting-kepiting itu tolong-menolong keluar dari baskom, namun yach… dibutuhkan jiwa yang besar untuk melakukannya...

Tanpa sadari sebetulnya banyak kepiting-kepiting disekeliling kita yang secara tidak kita sadari telah menjadi “dream stealer” (pencuri mimpi) anda secara perlahan. Coba renungkan berapa waktu yang Anda pakai untuk memikirkan cara-cara menjadi pemenang. Dalam kehidupan sosial, bisnis, sekolah, atau agama. Dan gantilah waktu itu untuk memikirkan cara-cara pengembangan diri Anda menjadi pribadi yang sehat dan sukses.

“Dream High” and Never ever give Up. (Yoliandri)

Anak Ayam & Rajawali

Alkisah adalah sebuah telur rajawali yang jatuh di kandang ayam.  Telur rajawali itu lalu dierami oleh induk ayam. Beberapa minggu kemudian menetaslah telur itu dan lahirlah seekor anak rajawali.

Anak rajawali pun belajar hidup bersama anak-anak ayam yang lain. Karena tidak menyadari bahwa dirinya adalah seekor rajawali, sang rajawali pun belajar mengkais-kais tanah untuk mencari cacing makanan kegemarannya.  Ia tidak pernah belajar untuk terbang karena induk dan teman-temannya tidak melatihnya untuk terbang. Ia pun mulai berbicara cip?..cip?. memanggil induknya    
  
Suatu hari lewatlah seekor burung rajawali di atas kandang ayam itu. Meliuk ke kiri, ke kanan sambil sesekali melempar pandangannya ke kandang ayam. Anak rajawali pun melihat burung yang paling perkasa itu dan lalu bertanya pada induk ayamnya, " Bu, burung apa itu? " "Oh itu burung rajawali", jawah ibunya  "Bisakah aku terbang seperti dia Bu?" tanya si anak rajawali lagi "Ha...ha?.ha, kamu, ibu, dan adik-adikmu yang lain semuanya sama, tidak ada yang bisa terbang. Sudah takdir kita untuk tidak dapat terbang. Hidup kita ya hanya bisa mengkais-kais tanah mencari cacing. Sudah cepat masuk ke dalam, sudah mulai gelap, sebentar lagi pandangan kita kabur"  

Andai saja si anak rajawali tidak mempercayai apa yang dikatakan oleh dunianya?..  Bagaimana dengan Anda? 

Cerita diambil dari cerita anonymous. Dari cerita ini diharapkan anda dapat menyadari potensi anda yang sebenarnya dan lalu mulai membangun motivasi anda bangkit dari seekor anak ayam menjadi seekor rajawali

Gateway to Joy and Peace of Mind

For the past few months many of you may be wondering why you have not been receiving our monthly newsletter. We can always put the blame on our server or our web-host etc... but the truth was we have not written any newsletter for the past few months. We have nothing to share-we were experiencing a "writer's block". Anyway the good news is the "writer's block" is now melting down - so we are on once again. Interestingly it is this very newsletter which melts down the 'block'.

It occurs to me that most people would put blame on an 'outside' factor when things don't go right or go their way. And when things go right, we tend to claim it as our own doing.

A common example is when one's life is running smoothly and successful we feel proud and tend to claim full responsibility for it but when one's life is full of problems and our business is in a bad shape, we often cry out "Why me ?"

We will blame our friends, neighbours, our customers, our staffs, our boss, our government and even God. The funny thing is how may of us thank our friends, neighbours etc...when things are going well like a breeze. Here, we can note that most humans prefer only the good side and tend to push away the "bad" side. We just don't like to 'own' the 'bad side'. In fact, ironic as it may seem, it is this non-acceptance of the 'bad' side which is the cause for a lot of our miseries, sufferings and mental anxieties.

If we were to push away something or someone because we don't like it or hate it, we inevitably experience bad feelings and bad mental states-hence suffering ! If we can be ONE with that "thing", and not pushing it  away or hating it, we will experience a sense of peace and well being.

Through the ages we often hear wise statements like "accept it", "surrender to it", "become one with it", "be one with the universe", all of it means almost the same thing-accept what ever life brings, take it solely as your own responsibility and not blaming others, only then will you be able to transcend the sufferings of life. It's important to note that leaving this responsibility to any outside factor or 'being' would still create a 'separation' or 'alienation' and would not help either. At best it may only give you a temporary relief.

Remember we learn to walk alongside all the fallings. We succeed alongside all the failings. A wise man was once asked, "Master, why do we have to die?" And he answered, "Because we were born".

May you accept all your bad experiences

 

Your fellow traveler in time.

Billi Lim

 

 

Mari Belajar Pada Beruang

SEEKOR beruang yang bertubuh besar sedang menunggu seharian dengan sabar di tepi sungai deras. Waktu itu memang tidak sedang musim ikan. Sejak pagi ia berdiri di sana mencoba meraih ikan yang meloncat keluar air. Namun, tak satu juga ikan yang berhasil ia tangkap.

Setelah berkali-kali mencoba, akhirnya... hup... ia dapat menangkap seekor ikan kecil. Ikan yang tertangkap menjerit-jerit ketakutan. Si ikan kecil itu meratap pada sang beruang, "Wahai beruang, tolong lepaskan aku."

"Mengapa," tanya sang beruang.

"Tidakkah kau lihat, aku ini terlalu kecil, bahkan bisa lolos lewat celah-celah gigimu," rintih sang ikan.

"Lalu kenapa?" tanya beruang lagi.

"Begini saja, tolong kembalikan aku ke sungai. Setelah beberapa bulan aku akan tumbuh menjadi ikan yang besar. Di saat itu kau bisa menangkapku dan memakanku untuk memenuhi seleramu," kata ikan.

"Wahai ikan, kau tahu mengapa aku bisa tumbuh begitu besar?" tanya beruang.

"Mengapa?" ikan balas bertanya sambil menggeleng-geleng kepalanya.

"Karena aku tak pernah menyerah walau sekecil apa pun keberuntungan yang telah tergenggam di tangan!" jawab beruang sambil tersenyum mantap.

"Ops!" teriak sang ikan, nyaris tersedak.

Dalam hidup, kita diberi banyak pilihan dan kesempatan. Namun jika kita tidak mau membuka hati dan mata kita untuk melihat dan menerima kesempatan yang Tuhan berikan maka kesempatan itu akan hilang begitu saja. Dan hal ini hanya akan menciptakan penyesalan yang tiada guna di kemudian hari, saat kita harus berucap : "Ohhh....Andaikan aku tidak menyia2kan kesempatan itu dulu...?"

Maka bijaksanalah pada hidup, hargai setiap detil kesempatan dalam hidup kita. Di saat sulit, selalu ada kesempatan untuk memperbaiki keadaan; di saat sedih, selalu ada kesempatan untuk meraih kembali kebahagiaan; di saat jatuh selalu ada kesempatan untuk bangkit kembali; dan dalam kesempatan untuk meraih kembali yang terbaik untuk hidup kita.

Bila kita setia pada perkara yang kecil maka kita akan mendapat perkara yang besar. Bila kita menghargai kesempatan yang kecil, maka ia akan menjadi sebuah kesempatan yang besar.